Hari-hari Ramadhan berlalu begitu cepat. Perpindahan juz ke juz Al-Qur`an yang saya baca tidak dapat mengimbangi perpindahan hari-hari Ramadhan yang telah berlalu. Lumayanlah masih sempat membaca. Daripada tidak. Saya sih selalu mengedepankan kualitas daripada kuantitas bacaan. Ngeles? Boleh dibilang begitu. Tetapi, saya tidak mau sekadar membaca ayat-ayat Al-Qur`an, sedang saya tidak mengetahui arti dan maksudnya. Al-Qur`an untuk saya baca dan untuk saya pahami. Paham terhadap isi Al-Qur`an merupakan jalan menuju pengamalan terhadap firman Tuhan itu. Pendek kata, saya tidak mungkin dapat mengamalkan isi Al-Qur`an, jika saya tidak dapat memahaminya!
Saya tidak mau membaca Al-Qur`an sebagai ritual belaka! Membaca Al-Qur`an bisa memperoleh pahala, itu pasti. Tetapi, jika kita dapat membaca dan memahami, apalagi mengamalkannya, tentu pahala yang kita dapatkan lebih afdhal!
Ketika bulan Ramadhan tahun ini memasuki sepuluh hari pertama, saya membaca suatu ayat yang merupakan bagian surah kedua di dalam Al-Qur`an. Membaca ayat itu, membuat saya memutuskan untuk tidak meneruskan bacaan saya ke ayat berikutnya. Saya memutuskan untuk menutup bacaan saya pada hari itu di ayat ke-177. Saya lebih memilih membuka sejumlah referensi yang saya baca, untuk menggali maksud yang sebenarnya dari ayat yang ke-177 surah al-Baqarah itu.
Menurut versi Depag, edisi 2002, terjemahan ayat ke-177 itu adalah sebagai berikut.
"Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (al-Baqarah [2]: 177)
Dalam ayat di atas, maksud yang belum saya pamahi dengan benar adalah penjelasan tentang pemberian harta yang disenangi oleh seseorang kepada (1) kerabat, (2) anak yatim, (3) orang-orang miskin, (4) orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), (5) peminta-minta, dan (6) untuk memerdekakan hamba sahaya.
Selama ini, pertanyaan yang sering menghinggapi saya adalah apakah dalam memberikan (baca: menyedekahkan) harta yang kita senangi, kita boleh menentukan sendiri pihak yang akan menerima harta kita: (misalnya) boleh diberikan kepada orang-orang miksin, meskipun masih ada anak yatim atau kerabat yang fakir? ataukah kita memberikan harta sesuai dengan skala prioritas sesuai urutan penyebutan pihak penerima sedekah di dalam ayat di atas: (misalnya) sebaiknya kita tidak menyalurkan harta kita kepada anak yatim selama masih ada kerabat yang membutuhkan?
Dari sejumlah referensi, terutama kitab-kitab tafsir, yang saya baca terkait dengan ayat di atas, saya dapat mencatat dua hal yang patut kita perhatikan dalam mengeluarkan harta kita. Pertama, harta yang kita keluarkan adalah harta yang kita senangi. Penjelasan ini juga dikuatkan dengan firman Allah swt. di dalam surah Âli 'Imrân, ayat 92.
Kedua, kita memberikan harta kepada golongan yang disebutkan di dalam ayat tersebut sesuai dengan prioritas yang disebutkan di dalam ayat tersebut. Prioritas yang dimaksud adalah sesuai dengan urutan penyebutan golongan tersebut. Kerabat lebih prioritas daripada anak yatim. Anak yatim lebih prioritas dari pada orang-orang miskin. Orang-orang miskin lebih prioritas daripada musafir. Dan begitu seterusnya. Karena itu, jika kita hendak menyedahkan harta kita, sejatinya kita merangkingkan golongan yang berhak menerima sedekah yang disebutkan di dalam ayat tersebut sebagai berikut.
1. Kerabat (yang fakir).
2. Anak yatim (yang fakir).
3. Orang-orang miskin.
4. Musafir.
5. Peminta-minta.
6. (Biaya) untuk memerdekakan hamba sahaya.
Dalam menyalurkan harta, jika memang terbatas, sebaiknya diberikan kepada pihak penerima nomor satu terlebih dahulu, sebelum diberikan kepada pihak penerima nomor dua. Jangan dilongkap! Jika di antara kerabat kita masih ada yang membutuhkan bantuan finansial dari kita, kita harus lebih memerhatikan mereka. Mereka lebih berhak untuk mendapat perhatian dan menerima bantuan kita, daripada pihak penerima sedekah yang lain. Hal itu karena kita yang lebih bertanggung jawab untuk mengayomi kerabat dan atau keluarga kita daripada orang lain.
Kita berdosa dan akan dituntut di hari Kiamat kelak, jika kita mengurangi hak-hak atau kesejahteraan kerabat atau keluarga kita demi mengalokasikan harta untuk diberikan kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, dengan kedok hendak mengayomi. Mengayomi anak yatim itu baik, tetapi mengayomi dengan cara seperti itu tidak benar: baik belum tentu benar!
Di sisi lain, memberikan harta kepada kerabat memiliki keistimewaan daripada memberikan harta kepada selain kerabat. Rasulullah saw. menegaskan bahwa ketika seorang muslim memberikan sedekah kepada orang miskin, sedekah yang ia berikan hanya bernilai sedekah, tetapi jika ia memberikan sedekah kepada keluarga atau kerabatnya, selain ia mendapat pahala sedekah, ia juga mendapat pahala menyambung silaturahmi (shadaqatuka 'alal-miskîn shadaqatun, wa 'alâ dzawî rahimika shadaqatun wa shilatun). Begitu hadits riwayat Baihaqi.
Dalam konteks perusahaan, posisi karyawan dalam sebuah perusahaan, menurut hemat saya, sama dengan posisi kerabat. Ketika perusahaan memiliki alokasi dana untuk disedekahkan, seyogianya dana itu disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak untuk menerima sesuai prioritasnya. Sebelum diberikan kepada anak yatim, orang-orang miskin, musafir, peminta-minta, harus dipastikan terlebih dahulu apakah para karyawan dari perusahaan tersebut sudah tidak ada yang membutuhkan bantuan untuk menutupi kebutuhan primernya?
Mengukur karyawan yang membutuhkan bantuan atau tidak, salah satunya, dapat dilakukan dengan memerhatikan gajinya. Sudahkah gaji yang ia terima mengantarkannya pada level kehidupan nyaman, ataukah gaji yang ia terima tidak dapat membuatnya keluar dari level mencari aman, atau bahkan mencari selamat.
Hemat saya, sebuah perusahaan sudah layak menyalurkan sedekahnya kepada nonkaryawan, seperti anak yatim dan orang-orang miskin, jika para karyawannya sudah berada di level nyaman, lebih-lebih jika sudah berada di level senang dan bahagia.
Jika kita menggarisbawahi hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat kita analogikan bahwa jika perusahaan memberikan sedekah kepada nonkaryawan, perusahaan hanya akan mendapatkan pahala sedekah. Akan tetapi, jika perusahaan menyalurkan sedekahnya kepada karyawan, perusahaan akan mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala bersedekah dan pahala menjalin tali silaturahmi. Menjalin tali silaturami dapat diartikan, antara lain, dapat menumbuhkan sense of belonging dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan.
Semoga kita dihindarkan dari perilaku menyalurkan sedekah hanya demi mencari prestise, sementara orang-orang yang sebenarnya lebih berhak untuk menerima sedekah kita masih meraung-raung kelaparan. Amin.
Jumat, 25 Januari 2013
Kamis, 17 Januari 2013
TALAQ, FASAKH, KHULU', TA'LIQ, LI'AN, ILA' & ZIHAR
TERDAPAT BEBERAPA CARA UNTUK MEMBUBARKAN PERKAHWINAN
1. Talaq
2. Fasakh
3. Khulu [Tebus Talaq]
4. Takliq
5. Lian
6. Ila’
7. Zihar
Meskipun pembubaran perkahwinan dibenarkan, termasuk peruntukan khulu’, fasakh dan ta’liq yang diberikan kepada wanita namun usaha-usaha hendaklah dibuat untuk menyelamatkan sesuatu perkahwinan itu sebagaimana yang difirmankan Allah SWT yang bermaksud: “... dan jika kamu bimbangkan perpecahan di antara mereka berdua (suami isteri) maka lantiklah orang tengah (hakam) iaitu Seorang dari keluarga lelaki dan seorang dari keluarga perempuan. Jika kedua-dua orang tengah itu bertujuan hendak mendamaikan nescaya Allah akan menjadikan kedua-duanya itu berpakat baik.” (an-Nisa’: 35)
Sesungguhnya di antara lelaki dan wanita itu terdapat perbezaan dalam membuat sesuatu keputusan di mana kebiasaannya wanita itu lebih mudah tunduk pada perasaan, apalagi jika sedang berada di saat-saat genting di mana persoalan perceraian sebenarnya memerlukan kepada pemikiran yang rasional.
Sabda rasulullah SAW yang bermaksud: “Mana-mana isteri yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan maka haram kepadanya bau syurga.” (Ahmad dan at-Tirmizi)
Manakala pihak lelaki pula tidak boleh terburu-buru menggunakan kuasa yang ada (untuk menceraikan) dan mesti berfikiran tenang terutama dalam mempertimbangkan kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap keluarga.
Firman Allah SWT yang maksudnya: ‘...dan bergaullah kamu dengan mereka (isteri-isteri kamu itu) dengan cara yang baik. Kemudian jika kamu (merasai) benci kepada mereka (disebabkan tingkahlakunya, janganlah kamu terburu-buru menceraikannya), kerana boleh jadi kamu bencikan sesuatu, sedangkan Allah hendak menjadikan pada apa yang kamu benci itu kebaikan yang banyak (untuk kamu)” (an-Nisaa’: 19).
TALAQ
PENGERTIAN TALAQ
Talaq dari segi bahasa bererti melepaskan ikatan. Dari segi syara‘ ialah melepaskan ikatan perkahwinan dengan menggunakan lafaz talaq atau seumpamanya.
Talaq : Perceraian yang dilakukan oleh suami dengan lafaz talak satu, dua atau tiga sama ada secara nyata atau kiasan.
Maka sesudah berlaku talak tiga, rujuk atau kahwin semula tidak boleh dilakukan lagi antara suami isteri tersebut. Perkahwinan semula antara keduanya hanya dibenarkan jika isteri yang diceraikan itu telah berkahwin dengan lelaki lain dan telah melakukan persetubuhan dengan suaminya yang kedua dan selepas suami yang kedua itu dengan kerelaan sendiri menceraikan isterinya itu.
Ini merujuk kepada firman Allah SWT yang bermaksud: “Sesudah (diceraikan dua kali) itu, jika diceraikan pula (bagi kali yang ketiga) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sesudah itu, sehingga ia berkahwin dengan suami yang lain. Setelah itu jika ia diceraikan (oleh Suami yang baru dan habis ‘iddahnya) maka mereka berdua (bekas suami dan bekas isteri) tidaklah berdosa untuk kembali (berkahwin semula) jika mereka benar-benar yakin dapat menegakkan aturan hukum Allah. Dan itulah aturan-aturan hukum Allah, diterangkan kepada kaum yang (mahu) mengetahui dan memahaminya.” (al-Baqarah: 230).
DALIL HARUS TALAQ
Firman Allah subhanahu wata‘ala, Maksudnya: “Cerai (talaq) itu dua kali, selepas itu peganglah isteri kamu (ruju‘ dan kekallah) dengan cara yang baik atau lepaskanlah dengan cara yang baik.” (Surah Al-Baqarah, 2:229)
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anh yang bermaksud: “Rasulullah SAW telah menceraikan isterinya Hafsah kemudian Baginda meruju`nya semula.” (Riwayat Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Talaq : Perceraian yang dilakukan oleh suami dengan lafaz talak satu, dua atau tiga sama ada secara nyata atau kiasan.
Maka sesudah berlaku talak tiga, rujuk atau kahwin semula tidak boleh dilakukan lagi antara suami isteri tersebut. Perkahwinan semula antara keduanya hanya dibenarkan jika isteri yang diceraikan itu telah berkahwin dengan lelaki lain dan telah melakukan persetubuhan dengan suaminya yang kedua dan selepas suami yang kedua itu dengan kerelaan sendiri menceraikan isterinya itu.
Ini merujuk kepada firman Allah SWT yang bermaksud: “Sesudah (diceraikan dua kali) itu, jika diceraikan pula (bagi kali yang ketiga) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sesudah itu, sehingga ia berkahwin dengan suami yang lain. Setelah itu jika ia diceraikan (oleh Suami yang baru dan habis ‘iddahnya) maka mereka berdua (bekas suami dan bekas isteri) tidaklah berdosa untuk kembali (berkahwin semula) jika mereka benar-benar yakin dapat menegakkan aturan hukum Allah. Dan itulah aturan-aturan hukum Allah, diterangkan kepada kaum yang (mahu) mengetahui dan memahaminya.” (al-Baqarah: 230).
DALIL HARUS TALAQ
Firman Allah subhanahu wata‘ala, Maksudnya: “Cerai (talaq) itu dua kali, selepas itu peganglah isteri kamu (ruju‘ dan kekallah) dengan cara yang baik atau lepaskanlah dengan cara yang baik.” (Surah Al-Baqarah, 2:229)
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anh yang bermaksud: “Rasulullah SAW telah menceraikan isterinya Hafsah kemudian Baginda meruju`nya semula.” (Riwayat Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
RUKUN DAN SYARAT TALAQ
1. Suami. Syarat-syarat suami ialah:
- Mestilah seorang lelaki itu telah menjadi suami melalui perkahwinan yang sah, tidak jatuh talaq jika belum berkahwin atau setelah bercerai dan habis ‘iddah.
- Hendaklah dalam keadaan sedar, tidak jatuh talaq jika sekiranya gila, pengsan, mengigau dan pitam kecuali mabuk yang disebabkan meminum minuman keras dengan sengaja.
- Baligh.
- Dengan rela hati dan tidak dipaksa, tidak jatuh talaq jika diugut menceraikan isteri.
2. Isteri. Syarat-syarat isteri:
- Perempuan yang diceraikan hendaklah menjadi isteri yang sah semasa diceraikan.
- Talaq akan bertambah lagi jika suami mentalaqkan isteri yang di dalam ‘iddah perceraian talaq satu.
3. Sighah (lafaz). Sighah talaq terbahagi kepada dua:
- Lafaz sarih (terang), iaitu yang diucapkan dengan terang dan jelas. Lafaz sarih ini terbahagi kepada tiga ucapan seperti berkata: “Aku ceraikan engkau talaq satu”, “Aku lepaskan kau” dan “Aku talaqkan kau”. Talaq dengan lafaz yang seperti ini akan jatuh talaqnya walaupun tanpa niat.
- Lafaz kinayah (lafaz kiasan), iaitu cerai yang dilafazkan menggunakan bahasa sindiran seperti berkata: “Engkau haram atas diriku” atau “Pergilah balik ke rumah emak bapak kamu”. Lafaz kinayah ini akan jatuh talaq jika suami berniat menceraikan isterinya.
4. Qasad (niat).
HUKUM TALAQ
Hukum menjatuhkan talaq pada asalnya diharuskan dalam Islam, tetapi ia akan berubah menjadi:
- Wajib: Setelah rumahtangga itu gagal diperbaiki dengan keputusan hakim atau suami telah bersumpah untuk menceraikan isterinya.
- Haram: Menceraikan isteri semasa isteri di dalam waktu haidh atau ketika suci tetapi baru disetubuhi.
- Sunat: Jika suami tidak dapat menyempurnakan nafkah batin.
- Makruh: Boleh menjadi haram jika menceraikan isteri tanpa sebab yang munasabah.
Islam menetapkan hanya suami sahaja yang mempunyai kuasa untuk menjatuhkan talaq. Walaubagaimanapun, isteri juga diberikan hak untuk memohon cerai dengan cara fasakh atau khulu‘ (tebus talaq).
PEMBAHAGIAN TALAQ
Talaq terbahagi kepada dua jenis iaitu:
- Talaq Raj‘i, iaitu talaq yang boleh diruju‘ kembali tanpa perlu akad nikah iaitu ketika isteri dalam waktu ‘iddah (sebelum tiga kali suci daripada haidh).
- Talaq Ba’in, ia terbahagi kepada dua:
- Ba’in sughra ialah talaq yang tidak boleh diruju‘ oleh suami kecuali diadakan akad nikah semula iaitu perceraian sama ada melalui fasakh, khulu‘ atau talaq isteri yang belum disetubuhi.
- Ba’in kubra ialah talaq yang tidak boleh diruju‘ kembali dengan cara biasa melainkan setelah syarat berikut dipenuhi:
- Setelah selesai ‘iddah si isteri.
- Bekas isteri berkahwin dengan suami lain.
- Suami lain menyetubuhi bekas isteri itu dan berlaku perceraian.
- Selesai ‘iddah dari suami yang lain itu.
FASAKH
PENGERTIAN FASAKH
Fasakh ialah membatalkan atau pembubaran akad nikah disebabkan oleh kecacatan yang berlaku pada waktu akad atau kecacatan yang mendatang selepas berlakunya akad nikah yang menghalang kekalnya perkahwinan.
SEBAB FASAKH
Antara sebab yang boleh menyebabkan berlakunya fasakh yang menghalang perkahwinan tersebut diteruskan seperti
1. Sebab yang merosakkan akad.
- Perkahwinan antara muhrim, sama ada sebab keturunan, susuan atau persemendaan.
- Isteri orang, atau isteri yang dalam tempoh ‘iddah talaq suami pertamanya.
- Pernikahan yang dilakukan semasa belum baligh (kecil) dan apabila baligh minta difasakhkan akad itu.
- Wali fasiq atau
- Saksi fasiq (akad tidak sah sejak diadakan),
- Murtad salah seorang daripada keduanya (akad terbatal)
2. Sebab yang mendatang selepas pernikahan.
- Salah seorang daripada suami atau isteri itu murtad
- Pasangan suami isteri bukan Islam semasa bernikah dan salah seorang memeluk Islam.
- Akad Nikah sah tetapi difasakhkan oleh qadhi atas tuntutan isteri sama ada kerana suami berpenyakit (dalam kes ini perkahwinan tidak boleh dibubarkan selagi tidak dibicarakan dan diputuskan oleh qadhi atau hakim Mahkamah Syariah),
- Tidak kufu’,
- Suami tidak mampu membayar mahar (pemberian wajib daripada suami kepada isteri) atau
- Suami tak mampu beri nafkah (mengeluarkan belanja kepada mereka yang berada di dalam tanggungan) atau
- Berlaku kesukaran di pihak isteri kerana suami hilang, suami dipenjara, suami menyakiti isteri secara keterlaluan (penderaan fizikal dan mental) atau sebagainya.
- Suami telah melakukan salah satu perkara yang diharamkan sebab persemendaan seperti berzina dengan ibu mertua
Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam [Negeri Melaka 2002, Seksyen 53] menambah lagi sebab-sebab yang menyebabkan berlakunya fasakh seperti di bawah ini:
- Tempat di mana beradanya suami telah tidak diketahui selama tempoh lebih dari setahun.
- Suami cuai atau telah tidak mengadakan peruntukan nafkah bagi nafkahnya selama tempoh tiga bulan.
- Suami telah dihukum penjara selama tempoh tiga tahun atau lebih.
- Suami telah tidak menunaikan tanpa sebab yang munasabah nafkah batin selama tempoh satu tahun.
- Suami mati pucuk pada masa perkahwinan dan masih lagi sedemikian dan isteri tidak tahu pada masa perkahwinan bahawa suami mati pucuk.
- Suami telah gila selama tempoh dua tahun, sedang mengidap penyakit kusta atau sedang mengidap penyakit kelamin yang boleh berjangkit.
- Isteri telah dikahwinkan oleh bapa atau datuknya sebelum dia mencapai umur enam belas (16) tahun, menolak perkahwinan itu sebelum mencapai umur lapan belas (18) tahun dan dia belum disetubuhi oleh suaminya itu.
- Walaupun empat bulan berlalu perkahwinan itu belum disatukan kerana suami atau isteri bersengaja enggan bersetubuh.
- Isteri tidak izin akan perkahwinan itu atau izinnya tidak sah sama ada dengan sebab paksaan, kesilapan, ketidak sempurnaan akal atau lain-lain hal yang diakui oleh hukum syara‘.
- Suami atau isteri menganiayai isteri atau suaminya, iaitu antaranya:
HIKMAH FASAKH
- Untuk menjamin hak dan perlindungan kepada kaum wanita sekiranya mereka teraniaya.
KHULU’ (Tebus Talaq)
PENGERTIAN KHULU‘
Khulu‘ dari segi bahasa bererti melepas atau menanggalkan. Manakala dari segi syara‘ pula ialah perceraian daripada suami ke atas isteri dengan tebusan yang diterima oleh suami.
Contohnya suami berkata “Aku talaqkan kamu dengan bayaran sekian banyak” atau isteri berkata: “Aku menebus talaq ke atas diriku dengan bayaran sekian banyak”.
Khulu’ : Ia juga dikenali sebagai ‘Tebus Talaq’ yang bermaksud pembubaran perkahwinan yang diperolehi oleh seorang isteri dengan membayar kepada suaminya dengan sesuatu benda yang berharga di mana kadar benda tersebut adalah berdasarkan persetujuan antara suami dan isteri berkenaan atau berdasarkan kepada keputusan qadhi. Ini dikira sebagai ganti rugi-kepada suami berkenaan.
Hal ini adalah berdasarkan pengertian yang diambil dari sebuah hadis Rasulullah SAW yang bermaksud: Dari Ibnu Abbas RA bahawa isteri Thabit bin Qais telah datang berjumpa Rasulullah SAW lantas berkata “wahai Rasulullah, saya hendak meminta cerai dari suami saya dan tidak ada cacian terhadapnya tentang perangainya dan keagamaannya tetapi saya bencikan sifat kekufuran yang ada padanya sedangkan saya seorang Islam.” Maka sabda Rasulullah SAW “Adakah engkau bersedia mengembalikan kebunnya yang telah diberikan kepada kamu sebagai mas kahwin?” Jawabnya: “Ya saya bersedia.” Lalu baginda menyuruh Thabit bin Qais menerima kembali kebunnya dan menceraikan isterinya. Maka Thabit menerima perintah baginda dan diceraikan isterinya. (Bukhari dan an-Nasa’i)
Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan tidak halal bagi kamu mengambil balik sesuatu dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka (isteri-isteri yang diceraikan itu) kecuali jika keduanya (suami dan isteri) takut tidak dapat menegakkan peraturan hukum Allah, maka tidaklah mereka berdosa mengenai bayaran (tebus talak) yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya (dan mengenai pengambilan suami tentang bayaran itu). Itulah peraturanperaturan hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya; dan sesiapa yang melanggar peraturan-peraturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 229)
Secara umumnya apa sahaja yang boleh dijadikan mahar (mas kahwin) boleh dijadikan bayaran khulu’. Iaitu setiap barang yang bernilai atau mempunyai manfaat dan ditentukan secara pasti tentang benda dan faedah yang hendak digunakan sebagai bayaran khulu’ tersebut.
Nafkah yang wajib ke atas suami kepada isterinya atau nafkah anak kecil yang berada di bawah jagaan ibu atau bayaran susuan dan jagaan anak dengan ditentukan jangka waktunya juga boleh dijadikan bayaran khulu’ dari isteri. Dengan ini nafkah yang wajib dibayar oleh suami tidak perlu lagi dibayar dan ia ditanggung sendiri oleh isteri.
Di antara kesan khulu’ ialah bekas suami tidak boleh rujuk kepada bekas isterinya, bekas suami tidak boleh menambah talaq ke atas bekas isterinya, bekas suami tidak boleh menambah talaq ke atas bekas isterinya dalam waktu ‘iddah dan suami juga tidak boleh berkahwin dengan bekas isterinya kecuali dengan akad dan mas kahwin yang baru.
Iddah bagi isteri yang dikhulu’ adalah sekali haidh dan pembubaran menerusi khulu’ ini boleh dilakukan pada bila-bila masa iaitu waktu suci atau waktu isteri sedang haidh.
Maka berdasarkan khulu’ ini inisiatif untuk perceraian datang dari pihak isteri sendiri dan alasan yang boleh diterima oleh syarak. Namun dalam hal ini mana-mana suami adalah dilarang menggunakan kesempatan untuk bertindak menimbulkan kesukaran kepada isterinya bagi mendapat khulu’ daripadanya kerana dalam kes begini ahli feqah berpendapat khulu’ adalah batal dan bayaran tebus talaq dipulangkan kepada si isteri semula.
DALIL PENSYARI‘ATAN KHULU‘
Firman Allah subhanahu wata‘ala, maksudnya: “Talaq (yang boleh diruju‘ kembali) hanya dua kali. Sesudah itu peganglah (ruju‘) atau lepaskan (cerai) dengan cara yang baik. Dan tidak halal bagi kamu mengambil balik sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (isteri yang kamu ceraikan) kecuali jika keduanya takut tidak dapat menegakkan peraturan-peraturan hukum Allah. Oleh itu, kalau kedua-kedua kamu khuatir maka tidaklah berdosa tentang bayaran balik (tebus talaq) yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Surah Al-Baqarah, 2:229)
SYARAT SAH KHULU‘
Peringatan:
Walaupun isteri mempunyai hak untuk memohon fasakh dan khulu‘, tetapi Rasulullah SAW menuntut agar ia tidak dilakukan dengan sewenang-wenangnya.
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: Mana-mana perempuan yang memohon cerai daripada suaminya tanpa sebab yang munasabah maka haram ke atasnya bau syurga. (Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud dan Ahmad)
TA’LIQ
PENGERTIAN TA‘LIQ
Contohnya suami berkata “Aku talaqkan kamu dengan bayaran sekian banyak” atau isteri berkata: “Aku menebus talaq ke atas diriku dengan bayaran sekian banyak”.
Khulu’ : Ia juga dikenali sebagai ‘Tebus Talaq’ yang bermaksud pembubaran perkahwinan yang diperolehi oleh seorang isteri dengan membayar kepada suaminya dengan sesuatu benda yang berharga di mana kadar benda tersebut adalah berdasarkan persetujuan antara suami dan isteri berkenaan atau berdasarkan kepada keputusan qadhi. Ini dikira sebagai ganti rugi-kepada suami berkenaan.
Hal ini adalah berdasarkan pengertian yang diambil dari sebuah hadis Rasulullah SAW yang bermaksud: Dari Ibnu Abbas RA bahawa isteri Thabit bin Qais telah datang berjumpa Rasulullah SAW lantas berkata “wahai Rasulullah, saya hendak meminta cerai dari suami saya dan tidak ada cacian terhadapnya tentang perangainya dan keagamaannya tetapi saya bencikan sifat kekufuran yang ada padanya sedangkan saya seorang Islam.” Maka sabda Rasulullah SAW “Adakah engkau bersedia mengembalikan kebunnya yang telah diberikan kepada kamu sebagai mas kahwin?” Jawabnya: “Ya saya bersedia.” Lalu baginda menyuruh Thabit bin Qais menerima kembali kebunnya dan menceraikan isterinya. Maka Thabit menerima perintah baginda dan diceraikan isterinya. (Bukhari dan an-Nasa’i)
Firman Allah SWT yang bermaksud: “Dan tidak halal bagi kamu mengambil balik sesuatu dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka (isteri-isteri yang diceraikan itu) kecuali jika keduanya (suami dan isteri) takut tidak dapat menegakkan peraturan hukum Allah, maka tidaklah mereka berdosa mengenai bayaran (tebus talak) yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya (dan mengenai pengambilan suami tentang bayaran itu). Itulah peraturanperaturan hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya; dan sesiapa yang melanggar peraturan-peraturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 229)
Secara umumnya apa sahaja yang boleh dijadikan mahar (mas kahwin) boleh dijadikan bayaran khulu’. Iaitu setiap barang yang bernilai atau mempunyai manfaat dan ditentukan secara pasti tentang benda dan faedah yang hendak digunakan sebagai bayaran khulu’ tersebut.
Nafkah yang wajib ke atas suami kepada isterinya atau nafkah anak kecil yang berada di bawah jagaan ibu atau bayaran susuan dan jagaan anak dengan ditentukan jangka waktunya juga boleh dijadikan bayaran khulu’ dari isteri. Dengan ini nafkah yang wajib dibayar oleh suami tidak perlu lagi dibayar dan ia ditanggung sendiri oleh isteri.
Di antara kesan khulu’ ialah bekas suami tidak boleh rujuk kepada bekas isterinya, bekas suami tidak boleh menambah talaq ke atas bekas isterinya, bekas suami tidak boleh menambah talaq ke atas bekas isterinya dalam waktu ‘iddah dan suami juga tidak boleh berkahwin dengan bekas isterinya kecuali dengan akad dan mas kahwin yang baru.
Iddah bagi isteri yang dikhulu’ adalah sekali haidh dan pembubaran menerusi khulu’ ini boleh dilakukan pada bila-bila masa iaitu waktu suci atau waktu isteri sedang haidh.
Maka berdasarkan khulu’ ini inisiatif untuk perceraian datang dari pihak isteri sendiri dan alasan yang boleh diterima oleh syarak. Namun dalam hal ini mana-mana suami adalah dilarang menggunakan kesempatan untuk bertindak menimbulkan kesukaran kepada isterinya bagi mendapat khulu’ daripadanya kerana dalam kes begini ahli feqah berpendapat khulu’ adalah batal dan bayaran tebus talaq dipulangkan kepada si isteri semula.
DALIL PENSYARI‘ATAN KHULU‘
Firman Allah subhanahu wata‘ala, maksudnya: “Talaq (yang boleh diruju‘ kembali) hanya dua kali. Sesudah itu peganglah (ruju‘) atau lepaskan (cerai) dengan cara yang baik. Dan tidak halal bagi kamu mengambil balik sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (isteri yang kamu ceraikan) kecuali jika keduanya takut tidak dapat menegakkan peraturan-peraturan hukum Allah. Oleh itu, kalau kedua-kedua kamu khuatir maka tidaklah berdosa tentang bayaran balik (tebus talaq) yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Surah Al-Baqarah, 2:229)
SYARAT SAH KHULU‘
- Suami: Baligh, berakal, mukhtar (bebas) melakukan khulu‘ bukan dipaksa.
- Isteri: Hendaklah seorang yang boleh menguruskan harta dan mukallaf.
- Lafaz khulu‘: Hendaklah disebut dengan terang.
- Bayaran khulu‘: Hendaklah dijelaskan dengan jumlah yang tertentu.
Peringatan:
Walaupun isteri mempunyai hak untuk memohon fasakh dan khulu‘, tetapi Rasulullah SAW menuntut agar ia tidak dilakukan dengan sewenang-wenangnya.
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: Mana-mana perempuan yang memohon cerai daripada suaminya tanpa sebab yang munasabah maka haram ke atasnya bau syurga. (Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmizi, Abu Daud dan Ahmad)
TA’LIQ
PENGERTIAN TA‘LIQ
Ta‘liq ialah lafaz yang diucapkan sebagai syarat untuk membatalkan pernikahan jika berlakunya sesuatu yang bertentangan dengan ta‘liq tersebut.
Ta’liq : iaitu menggantungkan perceraian kepada sesuatu masa atau sesuatu perbuatan seperti kata suami kepada isterinya: “Sekiranya kau pergi ke tempat tertentu maka kau tertalaq.”
Perceraian tidak berlaku semasa suami melafazkan ta’liq tetapi hanya berlaku sekiranya syarat yang disebut dalam lafaz ta’liq tersebut dilanggar.
Di Malaysia cerai ta’liq ini adalah suatu bentuk perceraian yang biasa diamalkan. Selepas akad nikah seseorang suami dikehendaki melafazkan ucapan ta’liq dan menandatangani surat ta’liq di hadapan juru nikah.
Contohnya seperti di Wilayah Persekutuan, lafaz ta’liq tersebut adalah:
Ta’liq : iaitu menggantungkan perceraian kepada sesuatu masa atau sesuatu perbuatan seperti kata suami kepada isterinya: “Sekiranya kau pergi ke tempat tertentu maka kau tertalaq.”
Perceraian tidak berlaku semasa suami melafazkan ta’liq tetapi hanya berlaku sekiranya syarat yang disebut dalam lafaz ta’liq tersebut dilanggar.
Di Malaysia cerai ta’liq ini adalah suatu bentuk perceraian yang biasa diamalkan. Selepas akad nikah seseorang suami dikehendaki melafazkan ucapan ta’liq dan menandatangani surat ta’liq di hadapan juru nikah.
Contohnya seperti di Wilayah Persekutuan, lafaz ta’liq tersebut adalah:
“Bahawa adalah saya mengaku apabila tinggalkan isteri saya (nama) selama empat bulan Hijrah berturut-turut atau lebih dengan sengaja atau paksaan dan saya atau wakil saya tidak memberi nafkah kepadanya selama masa yang tersebut pada hal atau saya melakukan sebarang mudharat kepada tubuh badannya kemudian ia mengadu kepada Mahkamah Syariah dan memberi kepada Mahkamah Syariah yang menerima bagi pihak saya satu ringgit maka pada ketika itu tertalak ia dengan cara talak khulu”
[Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah Persekutuan) 1984, Kaedah-kaedah Keluarga Islam (borang dan Fee) 1985 (seksyen 134(3)]
SYARAT TA‘LIQ
SYARAT TA‘LIQ
- Suami - Hendaklah mempunyai keahlian menjatuhkan cerai dengan melafazkan kata-kata ta‘liq.
- Belum berlaku - Hendaklah ta‘liq ke atas perkara yang belum berlaku atas perkara yang mungkin berlaku.
- Isteri - Hendaklah menjadi ahli cerai (masih menjadi isteri yang sah).
Contohnya suami berkata kepada isteri: “Jika engkau keluar dari rumah ini sepanjang ketiadaan aku, jatuhlah talaq engkau” atau “Apabila engkau pergi ke rumah si anu, jatuhlah talaq” atau “Manakala engkau pergi ke sana tanpa izinku jatuh talaq” atau sebagainya.
Apabila berlakunya perkara yang bertentangan dengan syarat yang dilafazkan, maka terjatuhlah talaq menurut hukum syara‘.
PERUNTUKAN UNDANG-UNDANG MENGENAI TA‘LIQ
Berdasarkan Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Melaka) 2002, Seksyen 50, seseorang perempuan yang bersuami boleh jika berhak memohon penceraian menurut syarat-syarat ta‘liq yang dibuat selepas akad nikah. Kandungan lafaz ta‘liq tersebut :
- Meninggalkan isteri selama empat bulan berturut-turut.
- Tidak memberi nafkah yang wajib selama empat bulan berturut-turut.
- Menyakiti tubuh badan isteri.
- Suami tidak mempedulikan isteri selama tempoh empat bulan berturut- turut.
LI’AN
PENGERTIAN LI‘AN
Li‘an berlaku apabila terjadinya qazaf iaitu suami menuduh isterinya berlaku zina atau menafikan anak yang dikandungkan oleh isterinya sebagai anak.
Li‘an ialah sumpah seorang suami apabila dia menuduh isterinya berzina tanpa mempunyai empat orang saksi kecuali dirinya sahaja, maka hendaklah dia bersumpah empat kali “bahawa dia adalah orang yang benar” dan pada kali kelimanya “bahawa dia akan dilaknati Allah jika dia berdusta”.
Sekiranya isteri menolak tuduhan tersebut, maka hendaklah dia bersumpah sebanyak empat kali “bahawa suaminya itu berdusta” dan pada kali kelimanya “bahawa dia akan dilaknati Allah jika suaminya benar”.
Li’an : Ianya berlaku apabila seseorang suami bersumpah menuduh isterinya melakukan zina dan isterinya juga bersumpah menafikan tuduhan suaminya itu.
Firman Allah subhanahu wata‘ala: “Adapun orang yang menuduh isterinya berzina sedangkan mereka tidak ada saksi (empat orang) kecuali hanya dirinya sahaja maka persaksian bagi orang yang menuduh itu hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahawa sesungguhnya dia adalah orang yang benar. Dan sumpahan yang kelima bahawa laknat Allah akan menimpanya jika dia berdusta. Dan untuk menghindarkan seksa terhadap isteri yang tertuduh itu hendaklah si isteri bersumpah dengan nama Allah sebanyak empat kali bahawa sumpahan yang kelima hendaklah dia berkata kemungkaran Allah akan menimpa dirinya.” (Surah An-Nur, 24:6-9)
KESAN LI‘AN
Berdasarkan Seksyen 51 Enakmen Undang-undang Keluarga Islam (Negeri Melaka) 2002 menegaskan bahawa: “Jika pihak-pihak kepada sesuatu perkahwinan telah mengangkat sumpah dengan cara li‘an mengikut hukum syara‘ di hadapan seorang hakim syar‘i, atas penghakiman, maka hakim syar‘i itu hendaklah memerintahkan mereka difaraqkan dan dipisahkan dan hidup berasingan selama-lamanya.”
Mengikut peruntukan hukum syara‘, sekiranya yang menuduh (suami) enggan bersumpah, maka dia akan dikenakan hukuman qazaf dengan sebatan sebanyak 80 kali rotan. Manakala jika isteri yang dituduh pula tidak menolak tuduhan suaminya, maka dia akan dikenakan hukuman sebagaimana orang yang berzina kecuali kedua-dua mereka bersumpah dan melakukan li‘an.
Apabila kedua-duanya bersumpah dan melakukan li‘an, maka ikatan perkahwinan mereka suami isteri akan terputus sama sekali dan mereka diharamkan berkahwin semula buat selama-lamanya.
Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahawa Rasulullah telah bersabda yang bermaksud: “Suami isteri yang melakukan li‘an apabila mereka berdua berpisah, kedua-dua mereka tidak boleh berkumpul (berkahwin) untuk selama-lamanya.(Riwayat Daruqutni)
ILA’
Iaitu apabila seseorang suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan menyebut sifat Allah SWT untuk tidak bersetubuh dengan isterinya selama empat bulan atau lebih atau dengan tidak menyebut tempoh masa. Tujuannya untuk bagi isteri merana dan susah. Perbuatan ini haram kerana menyeksa jiwa manusia.
Firman Allah SWT yang maksudnya: “Kepada orang-orang yang bersumpah tidak akan mencampuri isteri mereka, diberikan tempoh untuk empat bulan. Setelah itu jika mereka kembali (mencampurinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihani. Dan jika mereka berazam hendak menjatuhkan talaq (menceraikan isteri), maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 226-227)
Saidina Ali radiyaLlahu 'anhu berkata : Apabila seorang lelaki melakukan ila' terhadap isterinya, talaknya tidak jatuh walaupun telah berlalunya empat bulan selagi si suami belum memutuskan samada menceraikan isterinya atau dia menarik balik sumpahnya (iaitu dengan rujuk kepada isterinya dan menyelesaikan kafarahnya) (Riwayat Malik rahimahuLlah dalam al Muwatta' dalam kitab talak, bab ila' nombor 2/556. Hadis yang seumpama ini juga diriwayatkan daripada Ibnu Umar radiyaLlahu 'anhu.
Hukum Ila'
Jika suami bersumpah tidak akan bersetubuh dengan isterinya secara mutlak atau selama lebih daripada empat bulan, beliau telah melakukan ila' terhadap isterinya. Terdapat beberapa hukum syarak berkaitan dengan ila' tersebut :
Hakim hendaklah memberi peluang selama 4 bulan kepada suami bermula dari hari ia bersumpah. Ini akan memberi peluang kepada suami untuk menarik balik sumpahnya dan membayar kafarah sumpah atau menceraikan isterinya
Jika dia tidak mahu rujuk dan tidak mahu membayar kafarah sumpah, hingga tempoh 4 bulan tadi tamat, dan suami tetap dengan sumpahnya, maka ketika itu, hakim berhak mengambil salah satu tindakan berikut :
- Memaksa suami menarik balik sumpahnya dan kembali menyetubuhi isterinya serta membayar kafarah sumpah, jika dia bersumpah dengan nama Allah atau bersumpah dengan salah satu sifat Allah. Jika dia bersumpah untuk melakukan sesuatu atau bersedekah dengan sesuatu, dia hendaklah melakukannya.
- Memaksa suami menceraikan isterinya jika dia enggan menarik balik sumpahnya dan tetap berpegang dengan sumpahnya.
Sekiranya suami enggan melakukan salah satu daripada perkara di atas, maka hakim berhak menjatuhkan talaq satu bagi pihaknya. Itu adalah hak hakim untuk mengelakkan kemudaratan berlaku kepada orang lain dan tidak ada cara lain melainkan dengan hakim menjatuhkan menjatuhkan talak bagi pihaknya. Ketika itu hakim menggantikan tempat suami dalam menjatuhkan talak. Masalah ini sama dengan masalah membayar hutang dan menjelaskan hak-hak yang berbentuk harta.
Tindakan tersebut dilakukan jika suami tidak mempunyai keuzuran yang menghalangnya daripada melakukan persetubuhan. Jika suami mempunyai keuzuran seperti sakit atau sebagainya, dia hendaklah diminta menarik balik sumpahnya dengan lidahnya sendiri seperti ia berkata : "Jika aku mampu bersetubuh aku akan menarik balik pendirianku dan sumpahku"
KIFARAH SUMPAH
- Merdekakan seorang hamba yang mukmin, atau
- Memberi makan kepada 10 orang fakirmiskin sehingga kenyang, atau
- Memberi pakaian kepada 10 orang fakirmiskin, jika tidak mampu
- Berpuasa tiga hari.
Sila rujuk ayat 89 surah al maaidah yang bermaksud : ...maka kafaratnya ialah Memberi makan sepuluh orang miskin dari jenis makanan yang sederhana yang kamu (biasa) berikan kepada keluarga kamu, Atau memberi pakaian untuk mereka, Atau memerdekakan seorang hamba. Kemudian sesiapa yang tidak dapat (menunaikan tiga pilihan kafarat di atas), maka hendaklah dia berpuasa tiga hari. Yang demikian itu ialah kafarat penebus sumpah kamu...
Setiap orang miskin (yang 10 orang tu) mesti diberikan secupak beras (3/4 cupak Malaysia). Mesti diserahkan kepada setiap orang fakir atau miskin. Tidak boleh bawa mereka belanja makan di kedai, juga tidak boleh ditukarkan kepada wang.
ZIHAR
Iaitu apabila seseorang suami itu menyamakan belakang isterinya dengan belakang ibunya (atau orang yang diharamkan berkahwin dengannya).
Maksudnya menyamakan isteri dengan emaknya sendiri tentang haram disetubuhi (macam sudah cerai).
Maka jika selepas dia berkata demikian tiba-tiba dia diam tidak diringi dengan talaq atau cerai dalam masa kira-kira sempat berbuat demikian, nescaya dinamakan Zihar.
Hal ini dijelaskan di dalam al-Quran yang bermaksud: “Orang-orang yang ziharkan isterinya dari kalangan kamu (adalah orang-orang yang bersalah, kerana) isteri-isteri mereka bukanlah ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan-perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka (dengan melakukan yang demikian) memperkatakan suatu perkara yang mungkar dan dusta. Dan (ingatlah) Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (al-Mujadalah: 2)
RUKUN ZIHAR
1. Suami
2. Isteri
3. Perkara yang diserupakan
4. Lafaz zihar
Untuk mensabitkan rukun ini, beberapa syarat berikut mesti difahami. Syarat yang disepakati oleh jumhur ulama :-
Hal ini dijelaskan di dalam al-Quran yang bermaksud: “Orang-orang yang ziharkan isterinya dari kalangan kamu (adalah orang-orang yang bersalah, kerana) isteri-isteri mereka bukanlah ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan-perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka (dengan melakukan yang demikian) memperkatakan suatu perkara yang mungkar dan dusta. Dan (ingatlah) Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (al-Mujadalah: 2)
RUKUN ZIHAR
1. Suami
2. Isteri
3. Perkara yang diserupakan
4. Lafaz zihar
Untuk mensabitkan rukun ini, beberapa syarat berikut mesti difahami. Syarat yang disepakati oleh jumhur ulama :-
- Anggota-anggota yang haram dilihat oleh sesama mahram.
- Contoh punggung, perut, kemaluan, tangan, kepala, kaki, rambut, dan lain-lain .
- Demikian pandangan kebanyakan ulama, Ulama Hanbali dan Maliki mensabitkan seluruh anggota sama ada haram dilihat mahupun tidak, semuanya boleh mensabitkan zihar (Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, 9/7173) Pandangan yang rajih adalah pandangan jumhur.
Mestilah anggota-anggota ini daripada wanita yang diharamkanberkahwin dengan si lelaki samaada tahrim secara berkekalan (muabbad) atau keturunan (nasab) atau susuan dan musoharah. Seperti Ibu, Anak, Adik beradik, Pak cik, Mak cik dan lain-lain yang berkaitan.
Inilah pandangan mazhab utama, juga pandangan Hasan al-Basri, Ato Abi Rabah, As-Syabi, An-Nakhaie, Al-Awzaie, at-Thawry, Ishak Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Thaur.
Pandangan Imam Syafie dalam 'Qawl Qadim': Tidak jatuh zihar terhadap semua wanita kecuali ibu dan nenek sahaja kerana ayat berkenaan zihar itu ditujukan khas untuk ibu. Tetapi 'Qawl Jadid' Imam Syafie meminda ijtihadnya dengan mengatakan jatuh zihar kerana wanita yang diharamkan tadi menyerupai pengharaman ibu (al-Muhazzab, As-Syirazi dan al-Majmu, 19/45)
Manakala yang tidak muabbad seperti wanita asing, adik beradik perempuan bagi isteri dan lain-lain. Tidaklah penyerupaan dengan mereka dianggap zihar. (Lihat Al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah 4/500; Ad-Dusuqi ala syarh al-Kabir 2/439; Ashal al-Madarik 2/169; Kifayatul akhyar 2/71)
Ulama Maliki menambah bahawa binatang juga termasuk dalam kategori yang tidak boleh disamakan. Kerana asalnya manusia tidak boleh berhubungan jenis dengan binatang.
Ulama Maliki juga mensabitkan zihar kiranya menyamakan rambut isteri dengan rambut ibu. Manakala jumhur tidak berpandangan sekian. (Ad-Dusuqi ala syah al-Kabir, 2/439)
Syarat yang diperselisihkan :-
Mestilah diserupakan dengan anggota wanita.
- Kiranya ditasybihkan dengan lelaki seperti Belakang atau Punggung kamu seperti belakang atau punggung bapaku. Ulama Hanafi dan Syafie mengatakan TIDAK JATUH ZIHAR.
- Bagaimanapun Ulama Hanbali dan Maliki mengatakan JATUH ZIHAR DENGAN SYARAT MENYAMAKAN DENGAN ANGGOTA YANG TIDAK HALAL DILIHAT SEPERTI PERUT, PEHA, KEMALUAN, PUNGGUNG dan lain-lain yang seerti.
- Kiranya menyamakan dengan kepala bapa, rambut, hidung dan lain-lain, TIDAKLAH DIANGGAP ZIHAR (Lihat ashal al-Madarik 2/170; Juga al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah, 4/499). Semua mazhab mempunyai dalil masing-masing.
Ulama Syafiiyyah mengatakan kiranya tasybih itu bukan pada bahagian haram dilihat tadi, ia bergantung kepada niat, kiranya ia berniat memuliakan, bangga maka tidaklah jatuh zihar, jika sebaliknya maka jatuh zihar. (Kifayatul akhyar, 2/70)
4. Sighah (Lafaz Zihar), Syarat lafaz untuk untuk sabit zihar adalah :-
a. Perlu kepada niat, jika ianya dibuat secara Kinayah (tidak jelas).
- Sighah Sorihah (terang, jelas) seperti: Punggung Dinda benar-benar seperti punggung bonda Kanda. Lafaz seperti di atas tidak perlu kepada niat, bahkan jatuh zihar apabila didengari.
- Sighah Kinayah (tidak jelas) pula adalah lafaz-lafaz yang boleh diandaikan bermaksud zihar tapi mungkin juga tidak seperti: Dinda ni seperti bondaku. Lafaz seperti ini kemungkinan bermaksud zihar kemungkinan juga bermaksud memuliakan, hormat, penghargaan dan lain-lain. Maka ia bergantung kepada niat si suami.
b. Tidak disyaratkan untuk sabit zihar, mesti menggunakan lafaz yang
memberi pengertian semasa.
- Zihar jatuh dengan lafaz yang membawa pengertian semasa seperti : Punggung Dinda benar-benar seperti punggung bonda Kanda
- Juga jatuh kiranya diikat dengan waktu tertentu seperti : Kiranya dinda masuk ke rumah itu maka Perut Dinda seperti perut bondaku
- Jatuh zihar juga kiranya disandarkan ke zaman akan datang seperti : Awal tahun depan Punggung Dinda mesti macam seperti bonda kanda atau Kanda yakin perut Dinda memboyot seperti perut bonda Kanda dalam masa sebulan.
Semua lafaz tadi cukup untuk menjatuhkan hukum zihar. (Rujuk Al-Bidayah al-Mujtahid 2/117; Matolib Uli An-Nuha 5/507 )
c. Mestilah lafaz tadi disandarkan kepada anggota tubuh wanita samada secara juzu atau sepenuhnya. (Bahagian yang diharamkan lihat tadi tanpa boleh di ihtimal lagi). ( Lihat BadaI as-Sanai , 5/2129 )
HUKUM SETELAH JATUH ZIHAR
Setelah cukup syarat dan sabit jatuh zihar maka beberapa hukum berikut sabit
1. Haram menyetubuhi isterinya (yang diziharkan) kecuali setelah dibayar Kifarah. Ini adalah pandangan jumhur. Menurut tertibnya KIFARAH ZIHAR adalah
- Membebaskan seorang hamba yang mukmin, jika tak mampu..
- Puasa 2 bulan berturut-turut, jika tak mampu..
- Memberikan makanan yang mengenyangkan kepada 60 orang fakir atau miskin, setiap orang 1 cupak makanan,..
- jika tak mampu juga makan tetaplah kifarah itu tertanggung keatas dirinya, bila ada kemampuan wajiblah dia sempurnakan seberapa yang terupaya.
Dalilnya adalah daripada Firman Allah SWT surah al-Mujadalah ayat 58.
2. Tidak dibenarkan istimta (bersedap-sedap, berseronok-seronok), sentuh dengan syahwat sebelum membayar kifarah juga tidak dibenarkan (Tahrim Wasail) di sisi ulama Hanafi dan Maliki ( BadaI as-SanaI, 5/2132; Ashal al-Madarik 2/170) Tetapi ianya harus di sisi ulama Syafie (Lihat Rawdah at-Tolibin 8/270; Fath al-Jawad 2/187; Ianah at-Tolibin 4/37)
2. Tidak dibenarkan istimta (bersedap-sedap, berseronok-seronok), sentuh dengan syahwat sebelum membayar kifarah juga tidak dibenarkan (Tahrim Wasail) di sisi ulama Hanafi dan Maliki ( BadaI as-SanaI, 5/2132; Ashal al-Madarik 2/170) Tetapi ianya harus di sisi ulama Syafie (Lihat Rawdah at-Tolibin 8/270; Fath al-Jawad 2/187; Ianah at-Tolibin 4/37)
Pandangan yang rajih adalah tidak dibenarkan dengan tahrim wasail, kerana dibimbangi akan tergelincir ke persetubuhan. Pandangan lebih selamat bagi fatwa untuk orang awam. Kiranya sangat yakin tidak akan tergelincir dan tidak dapat menahan kesabaran hingga dibimbangi memudaratkan, maka ketika itu ia menjadi rukhshoh.
Kesimpulan Jawapan Terhadap Soalan (Mengambil Pandangan yang Rajih)
- Hanya jatuh (sabit) Zihar sekiranya menyamakan isteri dengan ibu,
- nenek, anak dan semua wanita yang diharamkan suami berkahwin
- Penyamaan anggota tertentu sahaja yang menyebabkan sabit zihar iaitu Seluruh atau juzuk dari anggota yang haram dilihat semasa mahram. Penyamaan dengan anggota selain itu tidaklah sabit zihar.
- Tidak sabit zihar, kiranya menyamakan anggota isteri dengan mana-mana lelaki. Hanya penyamaan dengan wanita sahaja sabit. Begitu juga menyamakan suara, rupa dan sebagainya.
- Istimta dengan isteri yang telah dizihar sebelum membayar kifarah adalah tidak dibenarkan dengan tahrim wasail. Dibimbangi akan terlanjur.
JUSTERU, MENYAMAKAN RUPA, HIDUNG ISTERI DENGAN RUPA DAN HIDUNG ANAK TIDAKLAH JATUH ZIHAR,
BAGIAMANAPUN MENYAMAKAN PUNGGUNG ISTERI DENGAN PUNGGUNG ANAK PEREMPUANNYA, SABIT JATUH ZIHAR. Walaupun si suami tidak berniat.
Masalah Kejahilan tentang hukum ini,mempunyai perbincangan yang lain yang agak panjang,
KESIMPULANNYA : Menjadi kewajiban suami isteri sebelum berkahwin mengetahui hal yang berkaitan dengan hubungan suami isteri. Wallahu alam.
PROPHET MUSA (AS) AND SEA'S SPLITTING IN TWO
The kings of Egypt-known as "Pharaohs" (or "Fir'awn" in the Arabic of the Qur'an)-regarded themselves as divine in the polytheistic, superstitious religion of ancient Egypt. At a time when the people of Egypt favoured a superstitious belief system over a divine belief system-the same era in which when the Children of Israel were enslaved-Allah sent the Prophet Musa (as) as a messenger to the tribe of Egypt.
However, Pharaoh and his court, and the people of Egypt in general, almost universally refused to abandon their idolatrous beliefs when the Prophet Musa (as) called them to divine religion and the Oneness of Allah. The Prophet Musa (as) revealed to Pharaoh and his courtiers that they should avoid false worship, warning them of Allah's wrath. In response to this, they rose up and slandered the Prophet Musa (as): They accused him of being mad, of being a sorcerer and of falsehood. Pharaoh and his people refused to submit to the Prophet Musa (as) even though many troubles were visited upon them. They refused to accept Allah as the only God. They even held the Prophet Musa (as) responsible for what had befallen them and sought to exile him from Egypt. In the Qur'an, Allah makes this reference to the Prophet Musa (as) and the believers with him:
We revealed to Musa: "Travel with Our servants by night. You will certainly be pursued." Pharaoh sent marshals into the cities: "These people are a small group and we find them irritating and we constitute a vigilant majority." We expelled them from gardens and springs, from treasures and a splendid situation. So it was! And We bequeathed them to the tribe of Israel. So they pursued them towards the east. (Qur'an, 26:52-60)
As revealed in the Qur'an, the two communities met at the edge of the sea following this pursuit. Allah divided the sea and saved the Prophet Musa (as) and the believers with him, destroying Pharaoh and his people. This aid from Allah is revealed thus:
So We revealed to Musa, "Strike the sea with your staff." And it split in two, each part like a towering cliff. And We brought the others right up to it. We rescued Musa and all those who were with him. Then We drowned the rest. There is certainly a Sign in that yet most of them are not believers. Truly your Lord is the Almighty, the Most Merciful. (Qur'an, 26:63-68)
In connection with this subject, the following account has recently been found in papyruses from the time of Pharaoh:
From Amenamoni, head of the protective books of the white room of the palace, to the scribe Penterhor:
When this letter reaches you and has been read point by point, surrender your heart to the sharpest pain, like a leaf before the storm, when you learn of the sorrowful disaster of the drowning in the whirlpool…
Calamity struck him suddenly and inescapably. Depict the destruction of the lords, the lord of the tribes, the king of the east and the west. The sleep in the waters has made something helpless out of something great. What news can compare to the news I have sent you?202
This miracle, experienced by the Prophet Musa (as) and the Children of Israel as they crossed the Red Sea, has been the subject of many studies. Archaeological investigations have established not only the path taken to the Red Sea after leaving Egypt, but also that the place where Pharaoh and the Prophet Musa (as) and his tribe met was one surrounded by mountains. (Allah knows best.)
http://www.quranic-science.blogspot.com/2012/06/prophet-musa-as-and-seas-splitting-in.html
Senin, 14 Januari 2013
Secrets of Pyramids
For centuries, Egyptologists and geologists thought that the Egyptian pyramids were made of limestone blocks (up to 70 tons) that were quarried by chiseling limestone. Workers then carried those blocks up the pyramids on ramps. This building procedure was thought to be so superhuman that it made the pyramids become one of the Seven Wonders of the World. However today electron microscopes revealed that the blocks at the top have chemistries found nowhere in nature. Those blocks at the top must have been baked and then cast like modern cement (not chiseled from existing limestone)
his Behind the Scenes article was provided to LiveScience in partnership with the National Science Foundation.
“This is not my day job.” So begins Michel Barsoum as he recounts his foray into the mysteries of the Great Pyramids of Egypt. As a well respected researcher in the field of ceramics, Barsoum never expected his career to take him down a path of history, archaeology, and “political” science, with materials research mixed in.
As a distinguished professor in the Department of Materials Science and Engineering at Drexel University, his daily routine consists mainly of teaching students about ceramics, or performing research on a new class of materials, the so-called MAX Phases, that he and his colleagues discovered in the 1990s. These modern ceramics are machinable, thermal-shock resistant, and are better conductors of heat and electricity than many metals—making them potential candidates for use in nuclear power plants, the automotive industry, jet engines, and a range of other high-demand systems.
Then Barsoum received an unexpected phone call from Michael Carrell, a friend of a retired colleague of Barsoum, who called to chat with the Egyptian-born Barsoum about how much he knew of the mysteries surrounding the building of the Great Pyramids of Giza, the only remaining of the seven wonders of the ancient world.
The widely accepted theory—that the pyramids were crafted of carved-out giant limestone blocks that workers carried up ramps—had not only not been embraced by everyone, but as important had quite a number of holes.
Burst out laughing
According to the caller, the mysteries had actually been solved by Joseph Davidovits, Director of the Geopolymer Institute in St. Quentin, France, more than two decades ago. Davidovits claimed that the stones of the pyramids were actually made of a very early form of concrete created using a mixture of limestone, clay, lime, and water.
“It was at this point in the conversation that I burst out laughing,” says Barsoum. If the pyramids were indeed cast, he says, someone should have proven it beyond a doubt by now, in this day and age, with just a few hours of electron microscopy.
It turned out that nobody had completely proven the theory…yet.
“What started as a two-hour project turned into a five-year odyssey that I undertook with one of my graduate students, Adrish Ganguly, and a colleague in France, Gilles Hug,” Barsoum says.
A year and a half later, after extensive scanning electron microscope (SEM) observations and other testing, Barsoum and his research group finally began to draw some conclusions about the pyramids. They found that the tiniest structures within the inner and outer casing stones were indeed consistent with a reconstituted limestone. The cement binding the limestone aggregate was either silicon dioxide (the building block of quartz) or a calcium and magnesium-rich silicate mineral.
The stones also had a high water content—unusual for the normally dry, natural limestone found on the Giza plateau—and the cementing phases, in both the inner and outer casing stones, were amorphous, in other words, their atoms were not arranged in a regular and periodic array. Sedimentary rocks such as limestone are seldom, if ever, amorphous.
The sample chemistries the researchers found do not exist anywhere in nature. “Therefore,” says Barsoum, “it’s very improbable that the outer and inner casing stones that we examined were chiseled from a natural limestone block.”
More startlingly, Barsoum and another of his graduate students, Aaron Sakulich, recently discovered the presence of silicon dioxide nanoscale spheres (with diameters only billionths of a meter across) in one of the samples. This discovery further confirms that these blocks are not natural limestone.
Generations misled
At the end of their most recent paper reporting these findings, the researchers reflect that it is “ironic, sublime and truly humbling” that this 4,500-year-old limestone is so true to the original that it has misled generations of Egyptologists and geologists and, “because the ancient Egyptians were the original—albeit unknowing—nanotechnologist
As if the scientific evidence isn’t enough, Barsoum has pointed out a number of common sense reasons why the pyramids were not likely constructed entirely of chiseled limestone blocks.
Egyptologists are consistently confronted by unanswered questions: How is it possible that some of the blocks are so perfectly matched that not even a human hair can be inserted between them? Why, despite the existence of millions of tons of stone, carved presumably with copper chisels, has not one copper chisel ever been found on the Giza Plateau?
Although Barsoum’s research has not answered all of these questions, his work provides insight into some of the key questions. For example, it is now more likely than not that the tops of the pyramids are cast, as it would have been increasingly difficult to drag the stones to the summit.
Also, casting would explain why some of the stones fit so closely together. Still, as with all great mysteries, not every aspect of the pyramids can be explained. How the Egyptians hoisted 70-ton granite slabs halfway up the great pyramid remains as mysterious as ever.
Why do the results of Barsoum’s research matter most today? Two words: earth cements.
“How energy intensive and/or complicated can a 4,500 year old technology really be? The answer to both questions is not very,” Barsoum explains. “The basic raw materials used for this early form of concrete—limestone, lime, and diatomaceous earth—can be found virtually anywhere in the world,” he adds. “Replicating this method of construction would be cost effective, long lasting, and much more environmentally friendly than the current building material of choice: Portland cement that alone pumps roughly 6 billion tons of CO2 annually into the atmosphere when it’s manufactured.”
“Ironically,” says Barsoum, “this study of 4,500 year old rocks is not about the past, but about the future.”
However 1400 years ago the Quran said that Pharaoh used baked clay (like modern cement; not chiseled limestone) to build their high rises:
[Quran 28.38] And Pharaoh said to his people: “I have not known a god for you other than myself; so Haman, light me a fire to bake clay so that I could build a rise high enough, maybe I see Moses’ god whom I think is a liar.”
How could an illiterate man who lived 1400 years ago have known that those high 70 ton blocks were baked like modern cement?
http://www.quranic-science.blogspot.com/2012/02/secrets-of-pyramids.html
Langganan:
Postingan (Atom)